Mimpi dan Misteri Masa Silam dalam “The Lost Road”

Catatan: postingan ini dibuat untuk merayakan Tolkien Reading Day 2019, yang mengambil tema “misteri.” Baca juga postingan saya untuk TRD tahun 2018, 2017, 2016, dan 2015.

“C. S. Lewis dan aku melempar koin, dan dia kebagian tema perjalanan angkasa sementara aku perjalanan waktu. Aku mulai menulis buku (yang tak terselesaikan) di mana para karakterku melintasi waktu, hingga akhirnya mereka menyaksikan tenggelamnya Atlantis. Aku menyebutnya Numenór, Negeri di Barat.”

Itulah petikan surat J. R. R. Tolkien untuk Christopher Bretherton. Ditulis pada tanggal 16 Juli 1964, surat tersebut antara lain berisi ekspresi kesedihan Tolkien atas meninggalnya C. S. Lewis, penulis seri Narnia dan The Screwtape Letters, serta salah satu sahabat terdekatnya. Dalam surat tersebut, Tolkien menggambarkan “misi” iseng yang pernah dilakukannya bersama Lewis. Mereka ingin menulis kisah fiksi ilmiah, dan melempar koin untuk menentukan siapa menulis tema apa.

C. S. Lewis, yang mendapat tema perjalanan angkasa, menulis The Space Trilogy yang akhirnya berkembang menjadi novel berseri. Tolkien menggarap tema perjalanan waktunya dengan cara berbeda: dia menggunakan pengalaman pribadinya dihantui mimpi-mimpi buruk tentang ombak raksasa yang bangkit menggulung seluruh dunia. The Lost Road pun hadir sebagai semacam kisah Atlantis, dan menginspirasi adegan tenggelamnya pulau, kota, serta armada kaum Numenór dalam legendarium Middle-earth.

the lost road

Mimpi tentang Tenggelamnya Númenor

The Lost Road terbagi ke dalam empat bagian, dan melibatkan beberapa pasangan ayah serta anak dari masa berbeda-beda: Eädwine dan Ælfwine (era Anglo-Saxon), Audoin dan Alboin (era kejayaan bangsa Lombardia), hingga Edwin and Elwin (Inggris era Tolkien, abad ke-20). Para karakter ini dikisahkan mengalami mimpi yang terasa nyata (lucid dream) tentang kilasan-kilasan yang melibatkan gambaran serupa: ada kapal, menara di tepi laut, pertempuran dan pedang, bangunan terbakar, serta gelombang besar yang menenggelamkan kota.

Dalam salah satu adegan, Alboin bermimpi bahwa dia dan ayahnya, Audoin, berjalan menapaki sederet anak tangga suatu bangunan mirip istana. Dia menggambarkan “mimpi di dalam mimpi,” dengan kilasan-kilasan sebagai berikut:

“Dreams,” he thought. “But not the usual sort, quite different: very vivid; and though never quite repeated, all gradually fitting into a story. But a sort of phantom story with no explanations. Just pictures. But not a sound, just word. Ships coming to land. Towers on the shore. Battles, with swords glinting but silent. And there is that ominous picture: the great temple on the mountain, smoking like a volcano. And that awful vision of the chasm in the seas, a whole land slipping sideways, mountains rolling over; dark ships fleeing into the dark.”

J. R. R. Tolkien: The Lost Road and Other Writings: chapter III

“Mimpi,” pikirnya. “Tapi bukan mimpi biasa, ini berbeda. Sangat jelas, dan walau tidak pernah berulang, semuanya perlahan menyatu menjadi suatu cerita. Tapi cerita yang samar-samar dan tanpa penjelasan, hanya imaji. Tanpa suara, hanya ada kata-kata. Kapal-kapal berlabuh. Menara di tepi laut. Pertempuran dengan pedang yang berkilauan namun hening. Dan ada gambaran mengerikan ini: kuil besar di pegunungan, berasap seperti gunung berapi. Dan ada celah besar mengerikan di laut, dataran yang amblas, pegunungan ambruk; siluet kapal-kapal yang lari ke kegelapan.”

(Terjemahan bebas)

800px-Ted_Nasmith_-_Queen_Tar-Míriel_and_the_Great_Wave
Queen Tar-Miriel and the Great Wave, oleh Ted Nasmith, menggambarkan ratu Numenór Tar-Miriel yang berusaha melarikan diri dari ombak besar ke Puncak Meneltarma, namun gagal.

Bagian akhir manuskrip The Lost Road menyambungkan para karakter ini ke dua nama yang akan dikenali para penggila legendarium Middle-earth: Amandil dan Elendil. Amandil merupakan salah satu kaum Númenór yang masih setia pada Valar, tidak seperti Ar-Pharazôn yang termakan rayuan Sauron untuk menyerbu negeri para Valar, membuat kerajaan dan pulaunya diterjang ombak besar. Elendil adalah salah satu kaum Númenór yang berhasil lolos dari banjir bandang, lantas mendirikan Gondor, dan tentu saja, menjadi kakek moyang Aragorn. Para karakter tersebut digambarkan merupakan reinkarnasi dari Amandil dan Elendil, dan bahkan nama mereka memiliki kemiripan secara etimologi (Eädwine, Audoin, Edwin, dan Amandil bermakna “Bliss-friend”, sedangkan Ælfwine, Alboin, Elwin, dan Elendil bermakna “Elf-friend”).

Seperti yang sudah disebutkan, kisah tenggelamnya Númenor mirip dengan legenda Atlantis. Tolkien mulanya bahkan memisahkan kisah ini dari legendarium Middle-earth, dan menggarap kisah kejatuhan Númenor sebagai “Atlantis versinya sendiri.” Kisah ini bahkan diberinya judul Atalantie, yang dalam bahasa Quenya ciptaannya bermakna “yang jatuh/runtuh.” Baru ketika konsep The Silmarillion semakin mendetail, Tolkien memasukkan kisah ini ke dalam manuskripnya, dan mengganti kata Atalantie ke versi bahasa Númenor: Akallabêth.

Tolkien sempat menjelaskan mimpinya tersebut dalam salah satu suratnya:

“This legend or myth or dim memory of some ancient history has always troubled me. In sleep I had the dreadful dream of the ineluctable Wave, either coming out of the quiet sea, or coming in towering over the green inlands. It still occurs occasionally, though now exorcized by writing about it. It always ends by surrender, and I awake gasping out of deep water. I used to draw it or write bad poems about it.”

The Letters of J. R. R. Tolkien: letter 257 (16 July 1964)

Mimpi-mimpi Tolkien tentang gelombang raksasa yang “bangkit dari laut yang tenang, menjulang di atas dataran hijau” kerap membuatnya terbangun dengan napas memburu. Tolkien mencoba menggambar atau menulis sajak untuk menyapu perasaan cemas dan ketakutan yang melandanya. Taruhannya dengan C. S. Lewis menjadi pemicu untuk menuliskan kisah tersebut secara serius.

Setelah kesuksesan The Hobbit, Tolkien berencana menjadikan kisah ini sebagai lanjutannya. Akan tetapi, penerbitnya, Allen & Unwin, berkata bahwa kisah yang diajukannya tidak memiliki nilai komersial (penerbit yang sama juga menolak The Silmarillion sebagai lanjutan The Hobbit, beranggapan bahwa kisahnya terlalu gelap, sehingga Tolkien memutuskan menulis The Lord of the Rings). Tolkien pun menyimpan manuskrip ini dan fokus pada LOTR serta The Silmarillion di waktu luangnya.

Novel yang Tak Terselesaikan

Tolkien sebenarnya masih ingin mengembangkan The Lost Road agar bisa menjadi novel utuh. Hal tersebut diwujudkannya dalam manuskrip berjudul The Notion Club Papers. Dalam manuskrip novel ini, Tolkien menciptakan “kisah di dalam kisah,” dimulai dari adegan pada tahun 2012, di mana seorang karakter bernama Mr. Green menemukan beberapa lembar naskah di antara tumpukan dokumen lama yang hendak disingkirkan. Naskah ini berjudul Notion Club Papers, dan berisi catatan pertemuan sebuah klub literatur yang terjadi pada tahun 1970-an. Dalam catatan tersebut, seorang anggota klub menggambarkan mimpi-mimpinya yang berisi adegan tenggelamnya sebuah negeri bernama Númenór.

636px-Darrell_Sweet_-_The_Fall_of_Numenor

The Fall of Númenór, oleh Darrell Sweet

Novel ini kembali tidak terselesaikan karena Tolkien memilih berfokus pada karya-karya lain. Akan tetapi, konsep “cerita di dalam cerita” ini tercermin dalam karya populernya yang lain. Dalam The Hobbit dan LOTR, sebuah catatan bernama Buku Merah Westmarch yang dibuat Bilbo Baggins konon merupakan “sumber informasi” bagi Tolkien untuk menulis The Hobbit dan LOTR, memberi kesan bahwa kedua novel ini adalah catatan sejarah, bukan fiksi.

Misteri sebagai Inspirasi

Bahkan dari dua karya yang tak terselesaikan ini, terlihat jelas betapa “misteri” merupakan konsep yang dipegang Tolkien dengan sangat erat. Para karakternya tak henti-hentinya terekspos pada kisah-kisah masa lalu, legenda yang nyaris terlupakan, serta reruntuhan atau tempat-tempat terabaikan yang menyimpan beragam kisah. Adegan seperti Legolas menyanyikan lagu Nimrodel, atau Aragorn dengan penuh teka-teki menyebut nama Ratu Beruthiel (tanpa menjelaskan lebih lanjut) mencerminkan pentingnya konsep misteri dalam menjaga atmosfer novelnya.

Tolkien menerapkan apa yang disebut sebagai leesterlle (“ruang kosong”), istilah yang diperkenalkan Wolfgang Iser pada tahun 1970. Dalam esainya, Iser menjelaskan tentang tindakan penulis yang menyembunyikan informasi tertentu dari pembaca, menahan diri agar tidak mengungkapkan terlalu banyak, sehingga imajinasi pembaca berperan besar dalam mengisi ruang-ruang kosong tersebut. Bagi Tolkien, mengungkap terlalu banyak akan menghilangkan “keintiman” antara pembaca dan bukunya, karena posisi si penulis sebagai “segala tahu” membuatnya membongkar informasi terlalu banyak.

Kutipan surat dari Tolkien untuk salah satu pembacanya, Kolonel Worskett, memberi petunjuk tentang kecenderungan mempertahankan misteri ini:

Part of the attraction of The L. R., I think, due to the glimpses of large history in the background: an attraction like that of viewing far off unvisited island, or seeing the towers of distant city gleaming in a sunlit mist. To go there is to destroy the magic, unless new unattainable vistas are again revealed.

The Letters of J. R. R. Tolkien: letter 247 (20 September 1963)

To go there is to destroy the magic. Ketika kita mengetahui terlalu banyak, keajaibannya akan hancur, dan kita tak akan bisa lagi menjadi bagian dari dunia fantasi yang terbuka di hadapan kita.

Kreativitas Tolkien banyak menunjukkan hasratnya akan misteri dari hal-hal yang terjadi masa lampau; begitu jauh sehingga kita bahkan tidak memahami apakah kisah tersebut nyata atau hanya khayalan. Puisi Kortirion among the Trees, yang ditulisnya pada usia pertengahan 20-an saat dirinya ditempatkan di medan pertempuran Perang Dunia I, menggambarkan sebuah “negeri kelabu yang suram, namun menyimpan kisah-kisah dari masa lalu ketika para Elf berlarian dan menari di bawah matahari; kisah yang kini hanya dibisikkan oleh pepohonan dengan nada sedih”. Puisi pertamanya yang mengusung nama “Middle-earth” juga mencerminkan misteri, yaitu kisah seorang pelaut bernama Éarendel yang berlayar ke sebuah negeri jauh di Barat, dikisahkan sebagai sebuah kepingan hikayat.

Eärendil the Mariner, by Ted Nasmith
Eärendil the Mariner, oleh Ted Nasmith

Dalam Oxford English Dictionary maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “misteri” sama-sama memiliki setidaknya dua jenis definisi: “sesuatu yang belum jelas atau menjadi teka-teki” serta “kenyataan luhur yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia.” Tolkien menerapkan misteri dalam karya-karyanya sebagai penggerak plot dan untuk menciptakan “kedekatan” samar antara pembaca dan para karakternya, serta memberi kesan bahwa apa yang kita baca adalah sesuatu yang, samar-samar, mungkin pernah terjadi di masa lalu. Misteri bukanlah sesuatu yang harus ditaklukkan, karena terkadang, misteri ada untuk menciptakan koneksi antara diri kita dengan masa lalu yang sepintas terlihat jauh, namun sesungguhnya masih memiliki kekuatan untuk mengendalikan cara berpikir kita.

The Lost Road akhirnya disertakan Christopher Tolkien dalam buku The Lost Road and Other writings, seri kelima dari 13 buku History of Middle-earth, sedangkan The Notion Club Papers masuk ke dalam seri kesembilan, Sauron Defeated. C. S. Lewis sukses dengan seri The Space Trilogy-nya, yang juga diterbitkan atas rekomendasi Tolkien. Walau Tolkien tidak sempat menyelesaikan naskah-naskah miliknya tersebut, namun kini kita paham mengapa mimpinya akan gelombang besar yang menelan sebuah negeri mendorongnya menciptakan kisah serupa: misteri, pada akhirnya, adalah salah satu pendorong terbesar bagi manusia untuk menyelami hal-hal yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan.

Sumber:

Carpenter, Humphrey. 2002. The Letters of J.R.R. Tolkien. New York: Houghton Mifflin.

Garth, John. 2003. Tolkien and the Great War: The Threshold of Middle-earth. London: HarperCollins

Tolkien, J. R. R. 1987. The Lost Road and Other Writings (ed. Christopher Tolkien). New York: Del Rey.

3 respons untuk ‘Mimpi dan Misteri Masa Silam dalam “The Lost Road”

Tinggalkan komentar