The Sea-Bell (Frodos Dreme): Puisi Tolkien tentang Laut, Ilusi, dan Rasa Terasing

The Lord of the Rings memuat lebih dari 60 puisi, namun mereka bukan satu-satunya puisi karya Tolkien. Sejak tahun 1910, Tolkien telah menulis puisi dengan beragam tema, seperti mimpi, laut, dunia “faerie“, rasa kehilangan, hingga keterasingan. The Sea-Bell adalah satu di antara beberapa puisinya yang bernada muram walau masih mengandung elemen mimpi dan dunia dongeng yang kental. Bahkan jika Anda hanya membaca karya populer seperti The Hobbit dan The Lord of the Rings, Anda tidak akan kesulitan menemukan kemiripan tema serta atmosfer yang mewarnai karya-karya Tolkien.

Sajak tentang Negeri Misterius

The Sea-Bell adalah hasil revisi dari Looney, puisi Tolkien yang diterbitkan oleh The Oxford Magazine pada tahun 1934. Tolkien tidak hanya membuatnya lebih panjang, tetapi juga membuat atmosfernya lebih sendu. The Sea-Bell kemudian menjadi bagian dari kompilasi sajak The Adventures of Tom Bombadil yang diterbitkan pada tahun 1962. Tolkien menulis Looney sebelum The Lord of the Rings, dan narasi di dalamnya tidak merujuk pada siapapun. Akan tetapi, ketika menulis ulang puisi tersebut, Tolkien menambahkan judul alternatif Frodos Dreme (“mimpi Frodo”), mengaitkannya dengan mimpi-mimpi Frodo tentang lautan di bagian akhir The Return of the King.

Sang narator dalam The Sea Bell menemukan cangkang kerang berbentuk mirip lonceng di pantai. Ketika menempelkan cangkang tersebut di telinganya, dia mendengar suara ombak yang samar-samar. Sebuah kapal misterius berlabuh dan membawanya berlayar ke tempat misterius tetapi indah. Anehnya, walau dirinya selalu samar-samar mendengar suara musik dan nyanyian, sumber suara-suara tersebut selalu menghilang ketika dirinya mendekat.

Then I saw a boat silently float

on the night-tide, empty and grey.

“It is later than late! Why do we wait?”

I leapt in and cried: “Bear me away!”

It bore me away, wetted with spray,

wrapped in mist, wound in a sleep,

to a forgotten strand in a strange land.

Frustrasi karena selalu gagal menemukan para penghuni negeri misterius tersebut, sang narator mendaki sebuah bukit, dan menyatakan dirinya sebagai raja, menantang para penghuninya untuk keluar. Kegelapan mendadak menyelimutinya, membuatnya terkapar dalam keadaan lemah dan buta. Putus asa, dirinya hanya bisa mengembara di hutan, dengan tubuh yang semakin menua. Dia harus menunggu dalam kegelapan selama satu tahun dan satu hari, tanpa bisa berbuat apa-apa.

There must I sit, wandering in wit,

while owls snored in their hollow house.

For a year and a day there must I stay:

beetles were tapping in the rotten trees,

spiders were weaving, in the mould heaving

puffballs loomed about my knees.

Ketika sang narator nyaris putus asa, kapal tersebut tiba-tiba kembali untuk membawanya. Sang narator tiba di pantai tempat keberangkatannya semula dan menemukan cangkang kerang yang sama. Ketika mendekatkan cangkang tersebut ke telinganya, narator tidak lagi mendengar suara ombak. Hatinya dipenuhi kerinduan yang tidak terpuaskan, dan dalam keputusasaan, dirinya memilih mengabaikan semua harta bendanya dan meninggalkan rumahnya tanpa membawa apa-apa, kecuali segenggam pasir pantai dan cangkang kerang. Puisi berakhir dengan sang narator berjalan di gang gelap di bawah hujan deras, berbicara sendiri, menyesali fakta bahwa dirinya tidak akan pernah lagi mengunjungi dunia tersebut atau bertemu dengan para penghuninya.

Never will my ear that bell hear,

never my feet that shore thread,

never again, as in sad lane,

in blind alley and in long street

ragged I walk. To myself I talk;

for still they speak not, men that I meet.

Tema Puisi The Sea-Bell

The Sea-Bell menyentuh beberapa tema yang sering hadir dalam karya-karya Tolkien: “dunia lain” (the otherworld), keterasingan, hasrat, penderitaan, hingga kesadaran akan kefanaan kita sebagai manusia. Dalam puisi ini, kita juga melihat deskripsi Tolkien akan “faerie“, yaitu sebuah wilayah yang keberadaannya nyaris tidak terjangkau indera manusia, di mana sosok-sosok dan makhluk fantastis tinggal: tempat yang indah, misterius, sekaligus berbahaya.

Tidak seperti gambaran dunia dongeng indah yang serba manis, negeri ajaib yang dikunjungi sang narator tidak memberinya “kepuasan” menemukan sosok-sosok fantastis penghuninya. Sekuat apa pun dia berusaha mengejar mereka, sosok-sosok tersebut selalu berhasil meloloskan diri. Sang narator hanya bisa mendengar samar-samar suara nyanyian, orang-orang menari, dan “kaki-kaki yang ramai menjejak lantai hutan,” tetapi ketika dia mendekat, dia tidak bisa melihat siapa pun, hanya suara-suara yang samar-samar menghilang.

Anda mungkin mengenali adegan ini dalam The Hobbit versi buku. Bilbo Baggins dan para Dwarf mendengar sayup-sayup suara orang-orang yang sedang berpesta ketika mereka tersesat di Hutan Mirkwood, tetapi ketika mereka mendekat untuk meminta pertolongan, suasana pesta tiba-tiba lenyap bersama dengan menghilangnya sosok-sosok tersebut. Bilbo dan kawan-kawan akhirnya mengetahui bahwa yang sedang berpesta adalah para Elf, tetapi bukannya mendapat pertolongan atau “berkah ajaib” seperti dongeng-dongeng umumnya, mereka justru menghadapi bahaya dan dipenjara karena dianggap sebagai penyusup. Apa yang terlihat seperti pertolongan ternyata merupakan bahaya.

Profesor Verlyn Flieger, dalam bukunya yang berjudul A Question of Time: J.R.R. Tolkien’s Road to Faërie, bahkan menjelaskan lebih lanjut bahwa puisi ini merupakan “jeritan dambaan akan keindahan yang telah lama berlalu.” Tema ini sangat terasa jika Anda membaca The Lord of the Rings, sebuah novel fantasi yang sesungguhnya bersifat elegiak, penuh dengan ekspresi, sajak, dan monolog serta dialog karakter yang menggambarkan, membayangkan, mengenang, bahkan meratapi hal atau sosok yang telah lama berlalu atau tiada. Menurut Profesor Flieger, The Sea-Bell adalah salah satu dari sekian banyak ekspresi literatur terhadap rasa keterasingan dan ketidakpastian yang dihadapi para prajurit setelah mereka kembali dari Perang Dunia Pertama.

Tolkien adalah bagian dari “Generasi yang Hilang” era Perang Dunia Pertama; mereka yang tumbuh dewasa dalam bayang-bayang perang. Kata “hilang” merujuk pada rasa kebingungan, kebimbangan, dan ketidakpastian yang menandai aspek psikologis mereka. Tolkien sangat memahami hal itu sebagai mantan prajurit Perang Dunia Pertama yang kehilangan hampir semua teman baiknya dalam perang. Imaji patriotis perang yang digembar-gemborkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, dan banyak para prajurit ini yang pulang membawa “beban” baru, mulai dari cedera fisik, trauma, hingga ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kehidupan setelah perang. Sama seperti sang narator dalam puisi yang kehilangan segalanya.

Keputusasaan sang narator dalam mengejar ilusi gaib di dunia yang terlihat indah di matanya juga bisa diartikan sebagai upaya sia-sia dalam menyangkal atau menghindari kematian. Sang narator yang putus asa bahkan sampai rela melakukan apa saja, termasuk memproklamirkan diri sebagai raja di pulau gaib tersebut, semata demi menuntut para penghuninya agar menampakkan diri dan memuaskan hasratnya untuk melihat mereka. Akan tetapi, seperti yang kita tahu, keinginannya tidak pernah terkabul, dan dirinya dihadapkan pada keputusasaan karena menolak menerima kenyataan akan kefanaan dirinya.

Referensi akan kematian juga terlihat dalam penggunaan kata “gladdon-sword” dalam bait yang mendeskripsikan kepongahan sang narator saat memproklamirkan dirinya sebagai raja:

Here now I stand, king of this land,

with gladdon-sword and reed-mace.

Answer my call! Come forth all!

Speak to me words! Show me a face!

Gladdon-sword berkaitan dengan Gladden Fields, sebuah dataran dengan area rawa tempat Isildur, moyang Aragorn, diserbu dan dibunuh oleh Orc setelah kembali dari Perang Aliansi Terakhir. Dalam bahasa Sindarin, nama Gladden Fields adalah Loeg Ningloron, “Kolam Bunga Air Keemasan.” Nama ini merujuk pada bunga iris kuning (Iris pseudocarus) yang dalam bahasa Anglo Saxon disebut Glaædene. Kata sword (pedang) merujuk pada daun-daunnya yang runcing. Bunga iris kuning pun memegang beban berat sebagai simbolisme kematian karena mereka menjadi saksi kematian Isildur dan tenggelamnya Cincin Kekuatan yang dipegangnya. Cincin tersebut pun menghilang cukup lama hingga mencapai status legenda, sebelum ditemukan kembali oleh Smeagol/Gollum (sesuatu yang juga memakan korban jiwa).

Hikayat Pelayaran dan Perjalanan Gaib

Tema kental lainnya yang terlihat jelas dalam The Sea-Bell adalah pelayaran magis. Konsep pelayaran magis ini sepintas mencerminkan kisah-kisah pelayaran dalam legendarium Tolkien, misalnya Eärendil dan (dalam contoh yang lebih tragis) Ar-Pharazôn. Kedua karakter ini mirip dengan narator dalam The Sea-Bell; mereka menempuh pelayaran menuju negeri abadi (Valinor), menghadapi sesuatu yang berada di luar pemahaman mereka. Keduanya menempuh risiko tersebut dengan membawa harapan: Eärendil untuk memohon pertolongan kepada para Valar dalam menghadapi kuasa gelap yang semakin meluas di negerinya, sementara Ar-Pharazôn mengklaim negeri para Valar untuk meraih kehidupan abadi, dan berujung pada tenggelamnya dirinya, armadanya, serta negerinya.

Kisah pelayaran ini memiliki kemiripan dengan immram (jamak: immrama), genre khusus dalam hikayat Irlandia Kuno yang bertema pelayaran magis (immram bermakna “mengayuh”). Dalam kisah-kisah seperti The Voyage of Mael Dúin, The Voyage of the Uí Chorra, dan The Voyage of Snedgus and Mac Riagla, para karakter utamanya melakukan pelayaran penuh petualangan dan bertemu dengan banyak karakter atau fenomena magis. Akan tetapi, penekanan immram bukan pada “Dunia Lain”, tetapi aspek perjalanan itu sendiri. Pelayaran jauh dan berbahaya digambarkan sebagai semacam ujian, tantangan, atau cobaan bagi para karakternya. Ketika mereka berlayar, mereka mengalami transformasi, dan bahkan belum tentu bisa pulang karena transformasi bisa berarti meninggalkan kehidupan lama dan membuka lembaran baru. Laut juga merupakan versi lain dari faerie ala Tolkien: indah tetapi berbahaya, tempat yang manusia tidak mampu memahaminya sepenuhnya.

Narator dalam The Sea-Bell menghabiskan waktu satu tahun dan satu hari terjebak di dunia gaib. Hal serupa bisa Anda temukan dalam Pwyll Pendefig Dyfed (Pwyll, Pangeran Dyfed), sebuah hikayat Wales Abad Pertengahan (mitologi dan legenda Wales merupakan salah satu sumber inspirasi Tolkien). Dalam kisah ini, Pwyll harus menghadapi kemarahan Arawn, Penguasa Annwn (dunia gaib dalam mitologi Wales) karena mengusir anjing-anjing Arawn ketika berburu rusa. Untuk meredakan kemarahan Arawn, Pwyll setuju untuk bertukar tempat dengan sang penguasa dunia gaib, menyamar menjadi dirinya demi membunuh Hafgan, musuh besar Arawn. Berapa lama waktu yang dihabiskan Pwyll di tempat tersebut? Satu tahun dan satu hari.

Walau tidak berhubungan dengan laut, kisah Pwyll Pendefig Dyfed menunjukkan banyak elemen yang mirip dengan tema The Sea-Bell: ilusi. Pwyll digambarkan sebagai sosok yang cerdik dan berhasil lepas dari beberapa rintangan dengan mengakali lawannya. Dia juga diberkahi ilmu gaib setelah tinggal di Annwn selama lebih dari setahun. Banyak peristiwa penting dalam hidupnya juga berkaitan dengan ilusi, termasuk kisah pertemuan pertamanya dengan istrinya, dewi penunggang kuda gaib bernama Rhiannon yang kudanya terlihat berjalan lambat namun selalu mampu membalap kuda-kuda milik pengikut Pwyll. Salah satu konflik terbesar dalam hidupnya adalah ketika dia salah paham dan mengira Rhiannon membunuh bayi mereka, padahal itu hanyalah tipuan para pelayan Rhiannon yang kehilangan si bayi dan takut mengakuinya; dengan kata lain, Pwyll yang sakti bahkan bisa terjebak oleh tipuan, dan segala hal yang terpantul di permukaan belum tentu benar.

“Pencipta” yang Kehilangan

Pada akhirnya, mungkin ada alasan khusus mengapa The Sea-Bell terasa lebih suram dan “berat” ketimbang sebagian besar puisi Tolkien. Sebagai seorang “pencipta” yang menciptakan dunia Middle-earth dengan begitu detail, Tolkien lama-kelamaan tidak lagi merasa terhubung dengan dunia ciptaannya. Sama seperti sang narator yang mulanya begitu ingin tahu tentang dunia baru yang didatanginya tetapi perlahan putus asa karena tidak bisa menemukan koneksi, Tolkien mungkin merasakan hal yang sama ketika dia tak kunjung menemukan kepuasan total terhadap dunia ciptaannya. Banyak bagian dari manuskripnya yang direvisi dan bahkan terabaikan tanpa kesimpulan akhir, sesuatu yang sangat dipahami Christopher Tolkien, putra sekaligus pewaris manuskrip-manuskripnya.

Kesimpulan muram ini diuraikan Tom Shippey dalam The Road to Middle-earth. Menginjak tahun 1960-an, hanya sekitar satu dekade sebelum kematiannya, Tolkien semakin merasa bahwa dirinya tidak akan pernah menyatu dengan ciptaannya setelah kematiannya, dan semuanya akan hilang darinya begitu dirinya tiada. Seperti sang narator yang begitu putus asa hingga berani memproklamirkan dirinya sebagai raja hanya demi menemukan koneksi dengan para penghuni pulau gaib, mungkinkah Tolkien sendiri diam-diam menjeritkan rasa kehilangan dan keputusasaan yang sama?

Apa pun kesimpulan Anda, The Sea-Bell tetaplah sebuah karya mengagumkan. Dalam bait-baitnya, Tolkien berhasil merekam keputusasaan, hasrat, rasa kesepian dan keterasingan, serta duka mendalam yang terbungkus dalam bait-bait indah. The Sea-Bell mungkin menggunakan “dunia peri” sebagai temanya, tetapi emosi yang dibangkitkannya mampu menyentuh hal-hal dalam benak yang diam-diam mungkin kita semua menolak mengakuinya, sama seperti sang narator dan mungkin Tolkien sendiri.

Sumber

Cotterell, Arthur. Storm, Rachel. 2005. The Ultimate Encyclopedia of Mythology. London: Anness Publishing.

Flieger, Verlyn. 2001. A Question of Time. Kent: Kent State University Press.

Jones, Gwyn and Thomas. 2000. The Mabinogion: New Revised Edition. London: Orion Publishing Group.

Shippey, Tom. 2005. The Road to Middle-earth. London: HarperCollins.

Swank, K. 2001. The Child’s Voyage and the Immram Tradition in Lewis, Tolkien, and Pullman. Mythlore 38 (1): 75-98.

Tolkien, J.R.R. 1999. The Silmarillion. (ed. Christopher Tolkien). London: HarperCollins.

Tolkien, J. R. R. 2008. Tales from the Perilous Realm. (ed. Christopher Tolkien). London: HarperCollins.

Tolkien, J.R.R. 1988. Unfinished Tales (ed. Christopher Tolkien). New York: Del Rey.

Satu respons untuk “The Sea-Bell (Frodos Dreme): Puisi Tolkien tentang Laut, Ilusi, dan Rasa Terasing

Tinggalkan komentar