Tawa dan Humor dalam Karya Tolkien (Ulasan Buku “Laughter in Middle-earth”)

laughter in middle earth

Terima kasih untuk Becky Dillon yang sudah jauh-jauh mengirimkan buku ini dari Jerman!

“Dalam bukunya Mr. Tolkien tidak banyak yang lucu-lucu.” 

Begitu celetukan Matilda, si anak perempuan jenius di buku berjudul sama karya Roald Dahl. Walau Matilda diceritakan masih sangat kecil dan imut (tetapi jenius), membaca klaim ini membuat saya agak tertegun. Buku-buku seperti LOTR, The Legend of Sigurd and Gudrun, dan The Silmarillion mungkin bukan “buku lucu”, tetapi karya-karya Tolkien yang lain menunjukkan cukup banyak humor, tentu dengan gayanya sendiri.

Melihat sepintas foto-foto Tolkien mungkin akan membuat Anda membayangkan seorang akademisi serius yang kaku, tipe yang tak segan melempar penghapus papan tulis ke kepala mahasiswa yang berani bercanda di kelas. Akan tetapi, Tolkien adalah orang yang sangat kocak dan menggemari lelucon serta tawa, bahkan yang kekanak-kanakan. Dia pernah melompat ke atas meja di kelas untuk memulai pembacaan dramatis sajak Beowulf, menakut-nakuti orang dengan kostum, hingga iseng saat kencan bersama calon istrinya, Edith, dengan menjatuhkan kubus-kubus gula dari balkon kedai teh ke topi orang-orang yang lewat. Humphrey Carpenter merangkum ini dalam biografi Tolkien yang digarapnya bersama putra Tolkien, Christopher:

“He (Tolkien) could laugh at anybody, but most of all at himself, and his complete lack of any sense of dignity could and often did make him behave like a riotous schoolboy.”

Humphrey Carpenter – J.R.R. Tolkien: A Biography

Laughter in Middle-earth mencoba menanggapi argumen bahwa Tolkien adalah penulis serius serta pembenci humor. Diterbitkan pada tahun 2016 oleh Walking Tree Publishers, buku ini berisi sembilan esai panjang yang membedah buku-buku seperti The Hobbit, The Lord of the Rings, The Silmarillion, dan Unfinished Tales, demi menunjukkan makna humor dan tawa dalam interaksi para karakter serta berbagai peristiwa besar maupun kecil di Middle-earth. Mulai dari makna tawa dalam interaksi karakter ketika menghadapi beragam situasi, humor yang menyindir aspek-aspek tertentu dalam kehidupan bermasyarakat, humor linguistik, hingga parodi yang terinspirasi dari karya Tolkien.

Fungsi Tawa bagi Karakter Tolkien

Tawa kerap dianggap kurang penting untuk dibahas secara mendalam, karena biasanya terlontar tanpa dipikirkan. Dalam buku Laughter: A Scientific Investigation, Robert Provine menukas bahwa tawa “Secara umum cenderung diabaikan dalam penelitian tentang perilaku manusia, karena sudah sifat kita untuk mengabaikan hal-hal yang dianggap biasa.” Sangat disayangkan, karena tawa adalah ekspresi nonverbal yang mampu menyatakan begitu banyak hal. Tawa mungkin merupakan perilaku spontan, tetapi memiliki tujuan yang sangat kompleks.

Tawa biasanya kita kaitkan dengan humor atau lelucon, tetapi secara spesifik, tawa adalah penanda berbagai tema atau ekspresi, mulai dari kegembiraan, agresi, ejekan, rasa malu, pencapaian, hingga kepuasan. Alan Partington, dalam buku The Linguistics of Laughter, menyebut bahwa tawa bisa menjadi “senjata” dalam artian yang tidak konvensional, sama seperti bahasa, tulisan, dan karya seni. Pemahaman ini mungkin yang mendorong Tolkien, seorang pakar bahasa, untuk memasukkan elemen tawa demi mengekspresikan hal-hal tertentu pada karakternya, bukan sekadar adegan kasual.

Ada dua esai yang secara spesifik membahas tentang tawa: esai Alastair Whyte yang berjudul A Fountain of Mirth: Laughter in Arda, serta tulisan Jennifer Raimundo yang bertajuk The Tenacity of Humour in the Works of J.R.R. Tolkien. Kedua esai ini menggambarkan cara Tolkien menggunakan adegan tawa sebagai simbol khusus dalam perkembangan plot dan karakternya.

Salah satu fungsi tawa adalah sebagai sumber kekuatan. Jika Anda membaca LOTR atau The Silmarillion dan benar-benar menaruh perhatian pada apa yang dilakukan karakternya, Anda mungkin akan heran melihat begitu banyak adegan tertawa bahkan ketika karakter-karakternya hendak mengambil keputusan sulit. Tawa yang muncul kerap menjadi penanda bahwa si karakter akan mengambil keputusan besar yang tadinya hampir tidak dapat dilakukannya.

Di dalam buku LOTR, ada beberapa adegan berbagai karakter memungut atau memegang Cincin Kekuatan, yang dikenal mampu menggoda mereka yang lemah untuk memanfaatkannya. Uniknya, setiap karakter yang “lulus tes” selalu menandainya dengan tawa. Galadriel melepaskan tawa setelah melalui “tes godaan” setelah memegang Cincin Kekuatan yang diserahkan Frodo, menandakan penerimaan akan takdir para Elf yang masanya akan berakhir. Ketika Faramir digambarkan seolah tergoda oleh Cincin yang dibawa Frodo, dia tiba-tiba tertawa dan terduduk di kursinya, seolah memutus mantra godaan yang ditawarkan Cincin Kekuatan. Mengingat betapa berat beban Frodo dan Sam ketika mereka terpisah dari rombongan untuk menyelesaikan misi menghancurkan Cincin, agak mengherankan betapa banyak adegan tertawa yang mengiringi perjalanan mereka!

Tawa juga merupakan antitesis kejahatan, sesuatu yang telah ditegaskan sejak Tolkien menciptakan konsep mitologinya dari bab penciptaan. Dalam esai On Fairy Stories, Tolkien mendeskripsikan teori “concept of consolation“, yang berpendapat bahwa bahkan di depan wajah kegelapan yang mengancam, selalu ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk “menyangkal kekalahan sepenuhnya di depan wajah kejahatan.” Bukankah lebih dari kebetulan bahwa Tulkas, valar yang kerap diasosiasikan dengan kegarangan dan kekuatan fisik, justru identik dengan tawa? Deskripsi terhadap tokoh Tulkas bahkan menggunakan kata-kata yang kelihatannya berlawanan: “greatest in strength”, “(his anger) passes like mighty wind”, “laughs ever”. Kejahatan dan kengerian akan selalu ada, tetapi tawa mematahkan kekalahan final yang dibawa keduanya. Tawa membuat kengerian menjadi absurd dan menjadi simbol penolakan terhadap kekalahan total di depan wajah kegelapan.

Humor Etiket

Tema favorit saya lainnya adalah humor terkait etiket, sesuatu yang sepertinya sangat khas Inggris. Dalam esai bertajuk This Of Course Is the Way to Talk to Dragons, Laura Lee Smith membandingkan berbagai penggunaan konsep etiket dan sopan santun untuk menyampaikan pesan dalam karya sastra. Smith terutama membandingkan The Hobbit (dalam kapasitasnya sebagai buku anak-anak) dengan karya-karya seperti Through the Looking-Glass, The Princess and the Goblin, serta Winnie the Pooh; judul-judul yang kerap disebut sebagai “buku anak-anak subversif” karena memarodikan atau memelesetkan konsep sopan santun dan tata krama sosial untuk membuat pembacanya terhibur atau tertawa.

Pembaca The Hobbit akan mudah menangkap berbagai humor terkait etiket di dalamnya: mulai dari ruwetnya respons Gandalf akan ucapan “Selamat pagi” Bilbo yang kelihatannya simpel (permainan semantik cerdas untuk buku anak-anak!), kocaknya sikap Bilbo yang masih berusaha sopan walau frustrasi melihat ada gerombolan Dwarf nyelonong ke rumahnya tanpa membalas sopan santunnya, hingga dialog/adu cerdik antara Bilbo dan Smaug di dalam gua. Pelesetan konsep sopan santun yang memorakporandakan tuntutan sosial ini bisa dibilang merupakan cara Tolkien untuk mengajarkan pada anak-anak bahwa kemunafikan dan manipulasi bisa bersembunyi di balik wajah terhormat.

Nonsense, Ilustrasi, Parodi

Dua aspek humor unik lain yang dibahas dalam buku ini adalah konsep nonsense serta parodi, yang dibahas dalam Certainly Not Our Sense: Tolkien and Nonsense oleh Maureen F. Mann, serta Strategies of Humour in The Stupid Ring Parody oleh Sherrylyn Branchaw. Humor nonsense dalam karya Tolkien terkait erat dengan aspek bahasa. Nonsense bermakna sederet kata atau kalimat yang kelihatannya tidak memiliki arti apa-apa (sinonim lainnya: claptrap, gibberish, balderdash). Esai ini menjelaskan mengapa Elf Rivendell dalam The Hobbit bisa menyanyikan lagu ceria yang terkesan konyol dan penuh dengan deretan kata-kata aneh, jauh beda dengan Elf serba serius yang digambarkan Peter Jackson dalam film-filmnya. Mann juga mengaitkan esai ini dengan humor nonsense yang populer dalam karya-karya fiksi era Victoria.

Menjelang akhir buku, ada bab yang agak ringan dan membahas tentang berbagai ilustrasi terkait karya-karya Tolkien dari seluruh dunia. Esai Davide Martini yang berjudul Humour in Art Depicting Middle-earth menyuguhkan berbagai ilustrasi bertema Middle-earth yang menunjukkan interpretasi beragam dari berbagai seniman, termasuk karya-karya “absurd” seperti ilustrasi Bilbo yang lebih nampak seperti separuh singa dan monyet, Smaug sebagai naga gembul yang berjalan membawa poci teh dengan genit, hingga Gollum yang mirip katak raksasa.

Akhirnya, setiap karya populer pasti memiliki parodi. Sherrylyn Branchaw menengok ke berbagai karya parodi yang berdasarkan The Hobbit dan LOTR. Dalam esai ini, Branchaw menggambarkan bagaimana parodi bekerja dengan menggunakan berbagai karya parodi populer sebagai contoh, baik yang berdasarkan novel maupun adaptasi film oleh Peter Jackson. Branchaw bahkan menggunakan contoh-contoh kontemporer, seperti fanfiksi serta video YouTube macam seri Epic Rap Battles in History (episode J.R.R. Tolkien lawan George R.R. Martin).

Saya ingat pernah berdebat dengan seorang teman saat di sekolah, yang berujung pada kata-kata darinya yang kurang lebih seperti ini: “Kamu kedengarannya seperti akademisi yang mencoba menjelaskan mengapa Mr. Bean itu lucu”. Saya sudah lupa apa akar perdebatan kami, tapi makna kata-katanya saat itu jelas: menganalisis lelucon atau humor akan merusak kesenangan yang diperoleh dari menertawakannya. Seandainya teman saya itu melihat buku apa yang saya baca, mungkin komentarnya akan sama. Mengapa membaca tentang humor kalau kau bisa menertawakannya saja? Apa manfaatnya?

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu sampai masuk kuliah dan mempelajari psikologi. Kami belajar bahwa humor adalah salah satu mekanisme pertahanan diri dari stres, dan bahkan merupakan salah satu “senjata” dalam mengurangi dampak buruk trauma. Dunia psikologi sudah memiliki kuesioner dan skala pengukuran terkait humor, seperti The Situational Humor Response Questionnaire dan Coping Humor Scale, menunjukkan bahwa humor tidak boleh dianggap enteng.

Membaca buku ini membuat saya menyadari bahwa tidak ada salahnya memelajari soal tawa dan humor. Bukan untuk menghilangkan kelucuannya, melainkan untuk memahami apa maknanya bagi kita. Mungkin aneh melihat bagaimana Tolkien menggambarkan karakter-karakter yang tertawa atau bercanda di tengah-tengah situasi yang sepertinya tidak lucu (malah cenderung menakutkan). Namun, setelah membaca buku ini, saya akhirnya menyadarinya: tawa dan humor bukan sekadar “selingan” menyenangkan. Mereka adalah bagian dari keunikan manusia. Kemampuan menemukan sesuatu untuk disambut dengan senyum dan tawa, walau di tengah kegelapan, adalah sesuatu yang membuat kita unik sebagai makhluk hidup.

Pada tahun 1944, J.R.R. Tolkien menciptakan kata eucatastrophe. Definisi singkatnya adalah “kebahagiaan yang datang tiba-tiba”, tetapi jika diartikan lebih luas, kata ini lebih tepat mengacu ke “kebahagiaan yang datang secara tak terduga di tengah situasi yang kelihatannya tanpa harapan, ketika benak akhirnya berhasil merangkai keabsurdan dunia dan menangkap ‘humor semesta’ yang baru nampak ketika hidup sudah di ujung tanduk”. Tema “harapan” sangat kental dalam karya-karya Tolkien, dan walau kita tidak bisa mencegah datangnya kegelapan, kemampuan kita untuk tertawa itu sendiri adalah salah satu bentuk eucatastrophe.

Ketika sedang cemas dan ketakutan, atau berada di dalam situasi tanpa harapan, mungkin satu-satunya senjata terakhir yang kita punya memang tawa. Dan Tolkien membuat para karakternya menyadari hal itu, di dalam dunia ciptaannya yang sesungguhnya hanyalah cermin dari dunia kita sendiri.

“It is precisely against the darkness of the world that comedy arises, and it is best when that is not hidden.”

-Tolkien’s reply to Rayner Unwin’s comments upon first reading The Fellowship of the Ring.

Sumber:

Partington, Alan. The Linguistics of Laughter: A Corpus-Assisted Study of Laughter-Talk. New York: Routledge. 2006.

Provine, Robert R. Laughter: A Scientific Investigation. London: Faber and Faber. 2000.

Tolkien, J.R.R. Tales from the Perilous Realm. Christopher Tolkien (ed). London: HarperCollins. 2002.

Tolkien: J.R.R. The Hobbit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.

Tolkien, JRR. The Fellowship of the Ring. London: HarperCollins. 1991.

Tolkien, J.R.R. The Silmarillion. Christopher Tolkien (ed). London: HarperCollins. 1999.

Tolkien, JRR. The Two Towers. London: HarperCollins. 1991.

Laughter in Middle-earth: Humour in and around the Works of J.R.R. Tolkien. Ed. Thomas Honegger and Mauren F. Mann. Zurich: Walking Tree Publishers. 2016.

2 respons untuk ‘Tawa dan Humor dalam Karya Tolkien (Ulasan Buku “Laughter in Middle-earth”)

  1. Hi! i love your blog! sebagai awam mau tanya dong, urutan baca novel2nya tolkien itu gmn ya? untuk LOTR, HOBBIT, Children of Hurin saya sih ada, tapi soon akan nambah dengan unfinished tales, thanks a lot!

    Suka

    1. Hai, makasih ya udah mampir. Biasanya sih saya menyarankan untuk mulai dari urutan terbitnya: The Hobbit, LOTR, The Silmarillion, lalu Children of Hurin. Memang tidak berurutan secara kronologis, tetapi ini justru pengalaman membaca paling nyaman, dan tidak akan membingungkan.

      Suka

Tinggalkan komentar